Cerpen Andaru Intan: Sakit Kiriman (Flores Sastra, 16 Sept 2016)

Barangkali sudah hampir satu tahun, penyakit Nyongket tak kunjung sembuh. Kulitnya tebal-tebal nan merah matang. Kadang menghitam. Kadang gatal, kadang panas, kadang tak rasa apa-apa. Namun yang paling menyakitkan, seringkali datang rasa nyeri yang menujum-nujum. Merasai sakitnya, Nyongket berdiam saja di rumah. Merenung. Menyesal. Mengingat-ingat. Juga was-was, bagaimana kalau-kalau banyak orang tahu tentang penyakit kulitnya yang aneh itu. Pastilah Nyongket malu bertemu orang. Bahkan kekasihnya sendiri tak mau menemuinya lagi. Perempuan berbodi aduhai yang hendak dia pinang beberapa bulan tahu telah memutuskannya dengan paksa. Dulu lengket bak getah nangka, kini tak mau bertegur sapa.“Sudah. Aku sudah putuskan. Kita harus cari motor itu, mengembalikannya pada Udang atau semua dari keluarga kita akan mengidap penyakit kiriman sepertimu, Nyong,” kata Kakaknya setelah menghela napas panjang. Dia lantas bersandar di badan kursi.

“Tapi, motor sudah dijual sejak dulu. Kejadian ini sudah setahun yang lalu. Tak mungkin kita dapat menemukannya. Paman sudah mencarinya hingga ke Ternate dan si pembeli motor itu sudah pindah rumah,” jawab Nyongket sambil melihat ke meja kaca. Terpantul bayangannya yang hampir buruk rupa.

“Aku kasihan padamu, Nyong. Juga takut kalau semua keluarga kita terkena penyakit itu. Bagaimana kalau kita kembalikan sapi saja? Harganya hampir sama.”

“Tak bisa. Sakit kiriman itu hanya akan sembuh kalau barang yang kita curi kita kembalikan…” suara Nyongket bergetar, seperti putus asa.

Mereka berdua menghabiskan sore ini di ruang tamu itu, memakan pisang goreng dan meneguk kopi sembari memikirkan bagaimana caranya menyembuhkan Nyongket dari sakitnya.

**

Nyongket terduduk di kasurnya. Matanya berkaca-kaca. Mengingat sebegitu teganya perempuan yang dicintainya meninggalkannya seperti ini.

Satu tahun yang lalu, perempuannya merengek minta dilamar. Teman-teman seusianya telah banyak menikah. Bahkan sudah banyak yang mempunyai momongan. Dia merajuk bak perempuan yang sudah tak tahan ingin cepat dikawini. Nyongket memang mencintainya. Justru teramat mencintainya, sampai dia rela melakukan apa saja agar perempuannya bahagia. Setelah pertemuan dengannya, Nyongket bicara pada kakaknya. Bahwa mereka ingin cepat kawin. Tapi, Nyongket harus siap uang sepuluh juta untuk mas kawin. Awalnya orang tuanya minta dua puluh juta, tapi perempuannya bilang, cukup sepuluh juta saja, nanti dia bicara pada orang tuanya. Yang penting dia dilamar. Dilamar. Secepatnya.

Tabungan tipis. Kakaknya hanya punya uang puluhan ribu untuk beli rokok saja. Sementara uang yang dipegang Ibu tak boleh diutak-atik. Itu untuk urusan perut sehari-hari. Isi kebun juga begitu-begitu saja. Berkebun sampai bungkuk pun rasa-rasanya hanya menghasilkan uang kopra yang tak seberapa.

Bagaimana kalau kita mencuri motor?

Pertanyaan itu terlontar dari mulut Nyongket. Kakaknya berpikir sejenak. Lantas mengiyakan. Dia tak tega melihat adiknya gusar lantaran tak kawin-kawin itu. Takut kalau-kalau malah menghamili anak gadis orang. Mereka mengatur rencana yang begitu apik. Biasa Udang menutup tokonya pada jam sebelas malam. Dua motornya tidak pernah dia masukkan ke dalam rumah. Hanya di pekarangan tanpa pagar itu. Ambil salah satunya. Motor baru yang platnya masih belum terpasang itu.

Seminggu setelah rencana mereka berhasil dengan lincah tanpa ada satu orang pun yang mengetahui, cepat-cepat motor itu mereka bawa pergi ke Ternate. Dijualnya pada teman si makelar. Tanpa surat-surat. Harganya tentu lebih murah. Tak masalah. Yang penting bisa buat tambahan melamar si perempuan.

Namun setelah kejadian itu, kulit Nyongket tiba-tiba gatal-gatal. Dia bilang pada perempuannya untuk sabar menunggu. Dia sedang sakit gatal-gatal, tak mungkin melamar anak orang sambil garuk-garuk saat acara. Dia meminta perempuannya bersantai. Toh uang sudah terkumpul sepuluh juta. Sebagian dari hasil jual motor curian, sebagian tabungannya, sebagian pinjam-pinjam.

Sebulan kemudian, perempuan menagih lagi. Kapan dilamar?

Lantas Nyongket bilang, sabar sebentar, kulit sedang merah-merah, kali ini memang tidak gatal, tapi tak mungkin melamar anak orang dengan kulit yang merah-merah.

Terlalu sering menunda, perempuannya marah-marah. Malah menuduh Nyongket tak pernah serius dan selalu berbohong. Sampai-sampai dia pun menuduhnya punya perempuan lain. Dengan amarah, dia mendatangi Nyongket. Dia ternganga melihat kekasihnya yang semula gagah menjadi lelaki dengan penampilan yang menakutkan. Kulit merah menebal dan menyeramkan. Dia berlari dari rumah itu dan meninggalkan Nyongket sendirian. Itu adalah terakhir kali Nyongket melihat perempuannya. Sampai sekarang tak ada kabarnya lagi. Dia hanya bilang hubungan telah selesai.

Itulah pengalaman sadis Nyongket yang membuat hatinya teriris. Kini dia tersadar. Tapi, semua sudah terlambat. Motor yang dicurinya itu tak pernah disangkanya berisi guna-guna yang mampu mengirim penyakit pada siapa pun yang mencurinya. Membuat Nyongket berpenyakit kulit dan ditinggal oleh calon istri yang amat dia cintai.

Satu-satunya obat untuk peyakitnya hanyalah mengembalikan motor itu.

“Nyongket, tadi sore Ibu cerita bahwa tetangga kita yang punya sakit kulit seperti kamu itu dulunya mencuri sandal jepit di masjid. Masalahnya, itu sandal jepit hanyut di laut, tak bisa lagi dikembalikan pada pemiliknya. Seumur hidupnya, kakek itu menderita sakit kulit. Dan sekarang sudah meninggal. Aku tidak mau kau bernasib seperti itu. Terkena sakit kiriman.” Kakaknya bicara dengan sangat serius, “Sapi sudah kujual. Nanti malam kita minta maaf pada Udang dan kita berikan sapi sebagai ganti motor yang kita curi. Tak usah malu. Udang pasti mau mencabut sakit kirimannya itu.”

Nyongket berdiam sembari mendengar secercah harapan dari kakaknya untuk kesembuhan sakitnya. Nyongket mengangguk. Di matanya, terlihat harapan yang menyala-nyala.

**

“Tapi saya dan istri saya tidak pernah menaruh guna-guna apapun di motor kami yang hilang, Nyong,” jawab Udang setelah mereka menjelaskan panjang lebar tentang kekhilafan mereka setahun yang lalu.

Udang dan istrinya justru tersenyum saja menanggapinya. Senyum yang terlihat bercahaya. Tanpa dendam. Tanpa rasa tak enak sedikitpun. Mereka sudah ikhlas akan motornya yang hilang. Justru keikhlasan itu yang membawa mereka mendapatkan banyak rejeki dari Tuhan. Sebuah oto merk Avanza telah dibelinya setelah tokonya ramai setahun ini. Nyongket dan kakaknya menunduk saja. Malu sekali. Tadi pun mereka minta maaf sampai menyembah-nyembah. Tapi, Udang dan istrinya justru menyuruh mereka bangun. Mereka menangis-nangis, Udang dan istrinya memberinya kertas-kertas tissue.

Mereka membawakan sebuah sapi sebagai ganti motor yang mereka curi. Sebuah sapi betina gemuk yang sekarang sedang diikatnya di pohon jambu depan rumah Udang. Tapi Udang dan istrinya menolaknya. Malam itu, justru Udang dan istrinya menyuruh Nyongket dan kakaknya kembali ke rumah mereka. Disuruhnya Nyongket menjual sapi itu untuk biaya berobat ke dokter kulit.

Siapa tahu, Nyongket menderita penyakit kusta seperti beberapa tetangganya itu, pikir Udang dan istrinya. (Halmahera Selatan, 2016)

3 thoughts on “Cerpen Andaru Intan: Sakit Kiriman (Flores Sastra, 16 Sept 2016)

Leave a comment