Kepala Tanpa Tubuh di Belakang Rumah

Banyuwangi, 10 Februari, 1980.

Puasa. Orang jawa punya banyak kebiasaan berbau spiritual untuk menguatkan jiwanya melalui puasa. Banyak puasa yang dikenal, mulai dari puasa senin kamis seperti sunnah Rosul, puasa weton, mutih, pati geni, dan lain-lain yang tak ada dalam syariat islam. Tapi, ini tentang adat dan tradisi. Maka, Bapak sering menyuruhku berpuasa. Katanya untuk menguatkan jiwa, entah apa maksudnya.

Sekuatmu puasanya, diniati untuk tirakat saja intinya, harus tulus tak boleh punya tujuan neko-neko apalagi pikiran jahat, gitu katanya.

Nah dari kebiasaan itu, aku jadi sering berpuasa. Waktu itu aku masih SD, jadi belum punya jadwal periodik tamu bulanan yang bisa buatku beralasan tidak puasa. Selain puasa Senin-Kamis, aku pernah mencoba puasa mutih, hanya makan nasi dan minum air putih saja. Kata Bapak puasa mutih yang dilakukan dengan tulus dan bertujuan dekat dengan-Nya bisa membantu menyehatkan fisik dan jiwa, bahkan bisa meningkatkan spiritual. Tapi efeknya, mereka akan lebih sensitif pada energi-energi gaib.

Awalnya aku hanya puasa sehari. Karena kata bapak kalau aku kuat aku boleh meneruskan puasa. Maka hari kedua dan ketiga pun aku berpasa. Hanya sahur dan buka dengan air putih dan nasi putih. Dan mungkin karena kurang gula, aku jadi sering nggliyeng, tubuhku sempat lemas di hari ketiga.

Malam itu, aku memutuskan tidak puasa lagi. Maghrib-maghrib, selepas sembahyang, perutku mulas bukan main. Aku hanya minum teh hangat dan bergegas ke WC. WC masih terpisah dengan rumahku. Aku harus berjalan ke halaman belakang rumah sekitar 15 meter. Gelap sekali waktu itu, aku hanya membawa senter yang batrenya sudah mau habis. Remang-remang. Sedangkan di WC hanya ada lampu neon ukuran 5 watt, cukup untuk menyinari WC sempit, cukup untuk bisa melihat gayung dan bak mandi. Itu saja.

Tapi.. ada yang aneh rasanya. Lima menit berlalu, seperti ada sepasang mata yang mengawasiku dari angin-angin WC. Aku sengaja tak mau melihat, kuteruskan saja buang hajat. Adakalanya pura-pura tak tahu membuat kita merasa aman. Tapi, setelah semuanya selesai, sebelum aku berjalan menuju rumah kusempatkan melirik angin-angin meski takut-takut.

“Astaghfirullahaladzim,”

Benar, aku diawasi. Sepasang mata itu melihatku tajam, giginya meringis seperti kesakitan. Seperti tercekik. Wajahnya pucat kebiruan. Berkerut seperti mayat. Setelah mataku tercekat beberapa detik, aku baru sadar yang kulihat hanya kepala yang menggantung di angin-angin. Hanya kepala tanpa tubuh. Nyata dan begitu jelas. Tak berdarah-darah. Hanya kepala yang menggantung. Napasku tersengal-sengal. Segera aku berlari, dan sekali aku melihat ke belakang, kepala tanpa tubuh itu makin jelas seperti ikut berlari mendekatiku. Masih dengan raut yang sama.. menatap tajam dan meringis..

“Pak, orang itu seperti kesakitan dan ingin ngomong sama aku, Pak. Dia itu begitu mirip sama Mbah Mi. Kupikir dia Mbah Mi. Hanya saja dia lelaki dan terkesan lebih tua, Pak. Aduh seram sekali..” ceritaku pada Bapak.

Bapak hanya menenangkan. Lalu mulai saat itu Bapak melarangku puasa mutih lagi. Puasa Senin-Kamis saja, sepertinya kamu nggak kuat puasa mutih, katanya.

Banyuwangi, April, 1994.

Liburan semester akhir. Aku bercerita pada Bapak mengenai skripsiku seputar Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia. Meskipun Bapak hanya seorang petani dan lulusan SMP jaman itu, tapi bapak selalu nonton TV dan langganan koran. Pengetahuan bapak boleh lah diadu dengan mahasiswa jaman sekarang, seperti aku. Jadi selalu nyambung waktu bicara sama Bapak.

“Pembantaian PKI waktu itu sepertinya bisa dibilang pelanggaran HAM berat.. Banyak orang tak bersalah jadi korbannya. Bahkan sampai sekarang, anak-cucu mereka masih juga diperlakukan tak adil. Sering kan kita dengar, kalau anak/cucu PKI tak boleh daftar ABRI? Entah itu bener atau nggak.”

Aku mengangguk-angguk. Mencoba menjadi pendengar yang baik.

“Meski kita nggak bisa apa-apa, paling ndak kita sering berdoa untuk para korban politik waktu itu. Mengenaskan sekali kalau ingat. Masa-masa itu banyak meninggalkan luka. Bahkan, tetangga kita, Pak Pujo, dulu kan meninggal gantung diri hanya karena ketakutan melihat teman-temannya dibantai..”

Wah, bener Bapak bilang. Aku sering mendengar cerita suram itu, para orang yang terlibat PKI diseret dari rumahnya, dikumpulkan di pos kamling samping rumahku dan dibantai habis-habisan. Saat memotong tubuh mereka, dari rumah sini suaranya terdengar seperti orang memotong tewel (nangka muda), kata nenek buyutku dulu. Ih, seram bukan main.

“Pak Pujo itu siapa, Pak?” tanyaku yang belum pernah mendengar mengenai beritanya.

“Oh ya.. Tetangga belakang rumah. Kamu manggilnya Mbah harusnya. Dia mas-nya Mbah Mi, kamu nggak kenal. Sudah meninggal lama, gantung diri. Orangnya baik, dia mirip banget sama Mbah Mi..”

Mendengar kalimat Bapak, bayangan lelaki yang menatap tajam dan meringis di WC itu tergambar jelas. Wajah yang sengsara, seperti menuntut keadilan, seperti tersiksa. Dia seperti hendak mengatakan banyak hal, seperti ingin memberitahu aku tentang rahasia.

Ah, entah lah. Saat itu aku segera tidur agar bisa bangun dan sahur nasi putih dan air putih lagi. Siapa tahu nanti malam di belakang rumah, aku bica bicara banyak dengan kepala tanpa tubuh yang dulu sempat membuatku ketakutan..